Antara Aku, Kucing, Sufi dan Anjing
Kucing liar kecil berbulu hitam itu kuberi nama “Si Hitam”, entah mengapa “hanya” itu kusematkan namanya, kekreatifan ku terbelenggu, hanya karena memang ia berwarna hitam saja. Berbeda nasib dengan saudara kandungnya, yang kuberi nama “April”, maknanya karena ia lahir dari Rahim induknya pada bulan April lalu. Warna bulu antara mereka berdua pun berbeda, April berwarna putih salju keabu-abuan sedangkan Si Hitam berwarna hitam pekat yang sekelibat lebih terlihat seperti kelelawar tanpa sayap. Terkadang jika kuingin jujur terhadap diri sendiri, ada benih ketidakadilan dalam hatiku perihal diriku menyikapi Si Hitam dan April, paparan pemahaman “standar keindahan umum” yang secara tak sadar membuatku merasa sesuatu yang indah mesti berwarna terang atau putih dan menempatkan warna gelap atau hitam berada di posisi inferior lah satu-satunya alasan mengakui kekeliruan bernalar ku sekaligus instropeksi diri. Hingga pada suatu pagi ketika ku sedang mencuci baju, Si Hitam menghampiri tergesa-gesa dengan “ngeongan” yang keras dan sangat bawel, sambil terus menggesek-gesekan badannya di kaki ku dan tentu sangat menganggu ku yang sedang fokus mencuci baju, kuangkat dan kupindahkan Si Hitam ke tempat sedikit jauh dari tempat awal dan kuberi makan, pikirku mungkin karena ia lapar, tak apalah.
Tak lama setelah ku beranjak ke tempat semula untuk melanjutkan mencuci baju, Si Hitam sekali lagi menghampiri dengan gangguan yang sama seperti sebelumnya, tak terbendung lagi amarahku, spontan kusiram Si Hitam dengan satu gayung berisi air cucian penuh hingga ia basah kuyup dan lari terbirit-birit kedinginan. Rasa puas yang kurasakan sangat nyata, tetapi sedikit demi sedikit luntur, kepuasan sementara. Bahkan bangkit perasaan yang sama seperti sebelumnya tentang ketidakadilan penyematan nama. Perasaan sangat puas dengan sekejap berubah menjadi perenungan rasa bersalah. Perenungan ini berbuah pikiran, yang kuyakin pikiran ini adalah “bala bantuan moral” dari Tuhan , atas dasar kasih sayang nya terhadap hambanya, pikiran yang dimaksud adalah sudah sebijaknya manusia sebagai makhluk tunggal berakal diantara ciptaan Tuhan lainnya menggunakan akal nya sebagaimana “mahkluk yang memang berakal”.
Peristiwa
penyiraman ku terhadap Si Hitam justru secara tidak langsung adalah salah satu
perilaku penurunan derajat dan kehormatan sebagai mahkluk yang diberi anugerah
akal oleh Tuhan. Ah, aku jadi teringat lagi dengan kisah salah satu Sufi agung
di Persia abad IX bernama Abu Yazid Al-Busthomi, suatu hari ia sedang berjalan
kaki menuju rumah ibadah, diperjalanannya ada anjing berjalan menghampirinya
dan sang Sufi sontak mengangkat jubah panjangnya karena khawatir tersentuh
anjing yang dianggap najis itu, anjing itu pun spontan berhenti dan memandang
sang Sufi. Entah bagaimana sang Sufi seakan seperti mendengar anjing itu
berkata padanya, “tubuhku kering dan tidak akan menyebabkan najis padamu. Kalau
pun engkau merasa terkena najis, engkau cukup membasuh 7 kali dengan air daan
tanah, maka najis di tubuhmu itu akan hilang. Tapi jika engkau mengangkat
jubahmu karena menganggap dirimu lebih mulia, lalu menganggapku anjing yang
hina, maka najis yang menempel di hatimu itu tak akan bersih walaupun engkau
membasuhnya dengan 7 samudera lautan”.
Bahkan
seorang Sufi agung pernah melakukan kekhilafan yang bahkan kekhilafan semacam
itu tidak lagi menjadi “kekhilafan” dewasa ini.
Ah,
entah sampai kapan aku akan mengulangi kesalahan yang sama berulang kali, tapi
setidaknya Tuhan telah memberikan ku anugerah yang sangat besar yaitu
“kesadaran melakukan kesalahan”.
Comments
Post a Comment